Puzle Hidup
Aku memimpikanmu lagi tadi malam, sungguh mimpi yang sangat aneh. di dalam mimpiku kau sangat lembut padaku, tatapan penuh cinta, genggaman yang hangat. ah... betapa mimpi itu sanggup membuat jantungku berdebar kencang, pun sampai aku terbangun dari mimpiku, aku masih bisa merasakan debaran hangat itu.
Entah apa dan bagaimana, kau tiba2 saja datang dalam mimpiku setiap kali aku sudah hampir melupakanmu, melupakan wajahmu, tatapan manjamu juga gengaman hangatmu. di mimpiku kau memelukku lama, seakan melepas rindu panjang yang kau pendam, disaat yang bersamaan aku juga merasakan pelukan itu layaknya ucapan selamat tinggal yang begitu menyesakkan.
Kita tak saling bicara dalam mimpiku, kau hanya mengusap pipiku pelan sambil menatapku lama. menggenggam tanganku dan mencium ujung2 jariku.jantungku berdegup kencang, sama kencangnya seperti masa2 dulu, ketika kita masih sering menghabiskan waktu bersama. Entahlah... tiap kali di dekatmu tiba2 aku selalu terserang sindrom grogi berkepanjangan. lidah kelu, berkeringat dingin dan.. seperti yang aku bilang tadi, jantungku tiba2 saja berdegup lebih kencang dari biasanya. Ah... kau sungguh buat aku jadi setengah gila.
Pagi ini, aku bangun dengan perasaan bahagia luar biasa. aku bangun masih dengan tangan di atas dada, merasai degup jantungku yang berdebar bahagia. Aku tersenyum menatap langit2 kamarku, mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih terasa berat. Lamat2 kudengar suara pintu di buka, aku kembali menutup mataku. pura2 tidur.
"Duh... calon penganten kok bangunnya siang, gimana kalau sudah jadi istri" ibu mengomel sambil menyibak selimutku
"Sedikit lagi ya buk, masih ngantuk" aku meraih guling, mengganti posisi tidur menghadap tembok, kata "calon penganten" membuat air mataku luruh tanpa bisa di cegah, rasa bahagia memudar seketika. Ya... besok aku akan menikah Abi, Bukan denganmu seperti rencana kita beberapa tahun lalu. tetapi dengan seseorang yang kuputuskan untuk mengganti posisimu, setelah sekian lama aku terpuruk sejak kepergianmu. dia yang selalu setia dan sabar menungguku untuk membuka sedikit celah. menyibakkan rasa duka dan membiarkan bahagia untuk singgah. menggantikanmu yang dengan tega meninggalkanku. ya Abi, kau tega, tega sekali.
Ibu masih sibuk membuka jendela dan menyibak tirai, membiarkan cahaya matahari pagi menerangi kamarku, udara dingin menerobos, menggigit kulit. aku masih pura2 tidur miring menghadap tembok. Sungguh... tak ada yang sanggup mengalahkan naluri seorang ibu. sepertinya beliau memiliki radar diatas kepalanya, sehingga bisa tau apa yang sedang di rasakan anaknya, entah itu sedih, senang, berbohong, atau apalah itu. intinya ibu tau kalau aku sedang berpura2 tidur untuk tak menunjukkan air mataku di hadapannya. Ibu duduk di pinggir tempat tidur. membelakangiku
"Ibuk kok ya masih ndak percaya ya kalau besok kamu mau menikah" Ibu diam sebentar, mengambil napas panjang
"Bahagia itu sederhana nduk, seperti layaknya orang yang berpuasa lalu berbuka, nikmatnya tak terkira kalau kita bisa berhasil melewatinya. berbeda kalau tidak puasa, kalau mau minum ya tinggal minum, kalau mau makan ya tinggal makan. jadi ndak terasa perjuangannya"
Aku masih terdiam, menatap tembok yang layaknya layar yang memutar kembali mimpi semalam. Ah... ibu, haruskah aku membatalkan saja pernikahanku? belum terlambatkan? belum kan ibu?
"Aku mimpi Abi buk semalem" suaraku parau, hampir tak terdengar
Ibu diam, mengambil napas berat, "Ikhlas itu emang berat nduk, tapi bukan berarti ndak bisa"
Aku masih terdiam, masih menyembunyikan tangisku, Mimpi Indah denganmu membuat pertahananku kembali goyah. Entah kenapa, tiba2 ide gila itu muncul begitu saja di otakku, Aku harus menemuimu, bagaimanapun akhirnya nanti, bahkan jika akhirnya aku harus membatalkan pernikahanku, maka akan aku lakukan, demi menemuimu. Demi menemuimu Abi. Meski kau telah membuatku terluka sebegitu dalamnya, aku tak peduli. aku hanya ingin menemuimu, setidaknya untuk membunuh rindu ini. dan mungkin juga untuk yang terakhir kali.
***
"Aku akan menikah besok"
" .... "
"Tidak papa kalau kau tidak bisa datang, aku maklum, aku hanya... hanya ingin memberi tahumu kalau aku besok menikah" Daun2 pohon asam yang menguning luruh tertiup angin, beberapa daun singgah di bahuku, juga di kepalaku, Langit senja memerah. Aku meruntuki waktu yang berlalu begitu cepat. Aku masih ingin bersamamu Bi. Aku masih rindu. Meskipun luka yang kau buat masih terasa perih, tapi aku tak bisa bohong jika aku rindu padamu.
"Aku akan bahagia, kau juga harus bahagia, berjanjilah Bi" Dan hingga kalimat terakhir ini kau masih saja bergeming, sedang aku sibuk untuk menahan tangisku yang hampir luruh
"Ai..." Aku menoleh, kak Widyan?
"Hai Bi, Saya widyan. kita belum pernah ketemu sebelumnya, salam kenal, saya calon suaminya Ai" Aku menatap kak Widyan nanar
"Maafin Ai kak, Ai..." kak Widyan, menggenggam tanganku hangat, menatapku penuh pengertian, seakan ia berkata lewat matanya "aku tak kan marah Ai, aku mengerti, aku tak kan marah"
Aku tergugu, kak Widyan merangkul pundakku. "Maaf Abi, saya harus membawa Ai pulang, besok adalah hari besar kami, Saya harap kamu mengerti"
Kak Widyan menggandeng tanganku menjauh, hati2 ia menuntunku melewati petak2 pusara di pemakaman. Dari jauh terdengar teriakan Tegar yang merengek minta keluar dari mobil. Tanpa kusadari aku mempercepat langkahku, melewati kak Widyan, menuju mobil.
"Amaaa.... " Tegar memanggilku dengan setengah menangis, ia meronta dari pelukan Eyang putrinya. Aku berlari ke arahnya. Ah... sinetron sekali rasanya, melihatnya lepas dari pelukan Eyangnya dan kami saling berlari menuju satu sama lain.tak peduli tersandung2 hingga hampir terjerembab di antara pusara2, hingga akhirnya berpelukan pada 1 titik temu, di tengah2 area pemakaman
"Tegar kenapa kemari?" aku mengusap kening bocah 5th itu. Yang di tanya malah menangis sesenggukan, dia kembali memelukku, makin erat, aku menatap Kak Widyan penuh rasa bersalah. Aku menggendong Tegar menuju mobil.
Sampai di mobil ia masih tak mau melepas pelukannya, hingga akhirnya kami meninggalkan pemakaman dan mobil kak Widyan sampai di depan rumahku. Tegar masih memelukku, dan jatuh tertidur tanpa kusadari.
"Dia seharian nangis minta ikut Widyan waktu tau kalau kami berdua ingin cari kamu Ai" Mama kak Widyan menjelaskan sesampai kami di rumahku, aku menidurkan Tegar di kamarku.
"Maafkan saya Ama (Tante), saya tidak bermaksud mengacaukan semua, seharusnya saya mematuhi adat untuk tetap di rumah, tapi saya malah... " Lagi2 kak Widyan menggenggam tanganku, menatapku penuh pengertian
"Sudahlah Ai, yang penting kamu sudah di rumah" Ah... taukah kau bi, Kak Widyan adalah lelaki paling hebat yang pernah aku kenal, setelah kau tentunya. Dia adalah Orang tua tunggal dari Tegar, lelaki kecilku, yang sejak bayi telah kehilangan ibunya akibat pendarahan hebat beberapa jam setelah dia dilahirkan kedunia.
Aku mengenalnya secara tidak sengaja, ketika itu aku menemukan Tegar yang baru berusia 2tahun, menangis sendirian di tengah2 Hypermart. Dia tersesat setelah terlepas dari gandengan ayahnya. Dan setelah hampir setengah jam aku membujuknya untuk ke ruang informasi. akhirnya Ia bisa bertemu ayahnya kembali.
Kami, Aku dan kak Widyan, memang memiliki perbedaan umur yang jauh Bi,7 tahun. tapi jangan khawatir. Itu tak pernah jadi masalah untuk kami. Kami bahagia Bi, percayalah, meski kadang aku masih sering memikirkanmu. Berandai-andai kau akan kembali dan melanjutkan pertunangan kita yang belum terwujud karena kau tak pernah bangun dari tidur panjangmu. Tau kah kau Bi, betapa marahnya aku ketika kau tiba2 saja pergi meninggalkanku tepat di hari pertunangan kita? Tentu kau tak tau, Tak kan pernah tau, karena kau benar2 telah menutup matamu untuk selamanya karena kecelakaan itu .Kau juga tidak taukan, hingga beberapa bulan kemudian setelah gagalnya pertunangan kita, aku masih suka teriak2 histeris di kamar dan membutuhkan bantuan Spikiater untuk waktu yang lama.
"Masih ada waktu Ai untuk membatalkan semuanya" kak Widyan membuyarkan lamunanku. Aku tercekat. Ama menatapku dan kak Widyan bergantian. Ibu dan ayah cuma terdiam, Ruang tamu lengang, hanya suara jam dinding yang terdengar
"Ama nggak mau jadi ibunya Tegar ya?" Sebuah suara kecil membuat 1 ruang menoleh ke asal suara
"Tegar..." kak Widyan mendekati anak lelakinya itu, menepuk punggungnya pelan, menyuruhnya duduk bergabung dengan kami, Ia mengambil duduk di antara aku dan kak Widyan.
Aku berusaha tersenyum, mengelus kepala Tegar lembut, mengusap pipinya yang gembul.
"Ama kok nggak jawab pertanyaan Tegar?" Aku menatap lelaki kecilku dengan tatapan nelangsa. Mata Tegar mulai berkaca2. Taukah kau bi, Hampir setaun yang lalu, tepat ulang Tahun Tegar yang ke 4, Ia melamarku, memintaku secara resmi di acara ulang tahunnya, di depan teman2 tknya, di depan guru2 TKnya, di depan sanak saudara yang datang di pesta itu, aku di mintanya untuk jadi Ibunya. Ya dia yang memintaku, bukan ayahnya.
Tak mudah bagiku untuk mengiyakan permintaan lelaki kecilku itu, meski aku sangat menyayanginya. Aku takut Bi, takut kehilangan, takut di tinggalkan seperti yang dulu kau lakukan padaku. Rasa sakit itu, belum hilang hingga bertaun2 lamanya. Tapi kak Widyan memahamiku Bi, seperti yang aku bilang padamu tadi, dia adalah laki2 terhebat. Ia tak jemu menungguku, tak lelah menjelaskan pada anaknya bahwa aku belum siap berkata iya. Hingga akhirnya Tegar jatuh sakit, ginjalnya bermasalah. dan ia harus di operasi secepatnya. itulah titik balik hidupku yang kedua Bi, setelah kau Tinggalkan.
Aku tak mau kehilangan lagi Bi, di saat2 kritis Tegar, maka aku pun berjanji pada diriku sendiri. jika Yang Maha Kuasa menyelamatkan lelaki kecilku, maka aku akan berkata "Iya" pada permintaannya. Dan sungguh, keajaiban itu muncul, bahkan di kala dokter sudah angkat tangan dengan keadaannya. Sudah menepuk-nepuk pundak kak Widyan untuk mempersiapkan hal paling buruk yang akan terjadi. Keajaiban itu ada Bi, Lelaki kecilku berhasil melewati masa kritisnya dan bisa sehat kembali hanya dalam hitungan minggu. Dan akupun harus menepati janjiku pada diriku sendiri.
"Ama..." Aku tersentak, Tegar tergugu, aku kembali mengusap pipinya yang sudah basah
"Mau sayang, tentu saja ama mau.." aku memeluk Tegar, kami berdua menangis, ibu dan Ama terlihat menahan2 air mata mereka. sedang ayah dan kak Widyan memilih berjalan keluar ruangan, menuju teras. dua lelaki itu memang selalu tidak tahan jika melihat wanita menangis. Dua lelaki hebatku.
*****
Malam kian larut, Aku masih termangu di depan jendela kamar, memandang langit. Aku lelah sekali hari ini. kak Widyan dan Ama sudah pulang beberapa jam yang lalu, sedang Tegar rewel minta ampun waktu di ajak pulang, ia tak mau melepaskan pelukannya, ia melekat seperti lem padaku. Akhirnya dengan berat hati ama mengijinkannya tidur di rumahku.
"Ama..." aku menoleh
"Ya sayang?"
"Katanya mau nutup jendela kamar, kok malah ngelamun liat bintang?" aku terkekeh, lupa dengan tujuan semula
"Maaf2..." Aku beringsut menutup jendela lalu mengambil tempat di samping Tegar. Hari ini dia ngotot ingin tidur denganku, ya mau bagaimana lagi.
"Ama... "
"Hmmm..."
"Ama cinta gak sama ayah?"
"Hmm... gimana yah..." aku pura2 menggoda, Tegar manyun melihatku sok jual mahal
"Kalau ama bilang lebih cinta sama Tegar gimana?"
"Ya gak boleh donk"
"Loh... kok gak boleh?"
"Iya, Kalau Ama cintanya sama Tegar, nanti Ama menikahnya sama Tegar dong bukan sama Ayah" jawab lelaki kecilku dengan polosnya. Aku tertawa tanpa bisa di cegah. lagi2 tegar manyun melihatku menertawakannya
"Ama.... Tegar serius ini" Tegar makin manyun
"Ama cinta sama semuanya, sama Eyang putri, sama Ayah, juga sama Tegar makanya Ama mau jadi ibunya Tegar"
"Oh... Tapi tadi kenapa Ayah tanya soal batal ... "
"Eh... Ama punya dongeng bagus, Tegar mau denger gak?" Aku mengigit bibir, Please Tegar. Ama tidak mau membicarakannya lagi
"Mauuuuuuu...." Tegar tiba2 berdiri, melonjak-lonjak di atas kasur. Aku tergelak melihat tingkahnya, Thanks God. Aku mengambil sebuah buku cerita bergambar dari lemari buku.
"Tidur donk, masa di dongengin sambil loncat2 gitu" Tegar nurut. Dia tidur disampingku, menyimak ceritaku dengan takjub. sesekali dia berseloroh "wohhhh..." ketika sampai di bagian imajinatif, dimana aku memperagakan badan dinosaurus yang sangat besar. entah pada bab berapa pada buku itu, tiba2 saja tanpa aku sadari bocah itu sudah tertidur dengan pulasnya.
"Bismikallahumma ahya wa bismika amut" kubisikkan doa menjelang tidur di telinganya, ku kecup keningnya lembut,kemudian membenarkan letak selimutnya. sejenak aku menatap langit2 kamarku. Abi, Abitya Nugraha.. yang telah jauh di sana, Terima kasih sudah mengisi hidupku sebelumnya. Ijinkanlah aku bahagia. karena seperti yang di katakan oleh kak Widyan "Aku tak kan menggantikan posisi Abi di dalam hatimu Ai, aku akan jadi puzle pelengkap, bukan puzle pengganti. begitupun kau dalam hidupku, Aku tak kan memaksamu mencintaiku secara utuh, sebagaimana aku juga belum bisa mencintaimu secara utuh, karena masing2 hati kita telah terbawa oleh orang2 yang kita sayangi sebelumnya, yang telah pergi lebih dulu dari kita, maka marilah Ai, kita sama2 berpegangan, saling menguatkan, aku tau rasanya kehilangan, maka aku takkan menuntut apapun darimu"
Mungkin benar apa yang di katakan Ibu tadi pagi, Ikhlas itu memang berat, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Semoga kau mengerti Bi, Aku hanya ingin bahagia, dan membahagiakan orang2 yang menyayangiku. Semoga kau juga bahagia di sana.
Cerpen lewat,
By Nouru El Arifah
Entah apa dan bagaimana, kau tiba2 saja datang dalam mimpiku setiap kali aku sudah hampir melupakanmu, melupakan wajahmu, tatapan manjamu juga gengaman hangatmu. di mimpiku kau memelukku lama, seakan melepas rindu panjang yang kau pendam, disaat yang bersamaan aku juga merasakan pelukan itu layaknya ucapan selamat tinggal yang begitu menyesakkan.
Kita tak saling bicara dalam mimpiku, kau hanya mengusap pipiku pelan sambil menatapku lama. menggenggam tanganku dan mencium ujung2 jariku.jantungku berdegup kencang, sama kencangnya seperti masa2 dulu, ketika kita masih sering menghabiskan waktu bersama. Entahlah... tiap kali di dekatmu tiba2 aku selalu terserang sindrom grogi berkepanjangan. lidah kelu, berkeringat dingin dan.. seperti yang aku bilang tadi, jantungku tiba2 saja berdegup lebih kencang dari biasanya. Ah... kau sungguh buat aku jadi setengah gila.
Pagi ini, aku bangun dengan perasaan bahagia luar biasa. aku bangun masih dengan tangan di atas dada, merasai degup jantungku yang berdebar bahagia. Aku tersenyum menatap langit2 kamarku, mengerjap-ngerjapkan mataku yang masih terasa berat. Lamat2 kudengar suara pintu di buka, aku kembali menutup mataku. pura2 tidur.
"Duh... calon penganten kok bangunnya siang, gimana kalau sudah jadi istri" ibu mengomel sambil menyibak selimutku
"Sedikit lagi ya buk, masih ngantuk" aku meraih guling, mengganti posisi tidur menghadap tembok, kata "calon penganten" membuat air mataku luruh tanpa bisa di cegah, rasa bahagia memudar seketika. Ya... besok aku akan menikah Abi, Bukan denganmu seperti rencana kita beberapa tahun lalu. tetapi dengan seseorang yang kuputuskan untuk mengganti posisimu, setelah sekian lama aku terpuruk sejak kepergianmu. dia yang selalu setia dan sabar menungguku untuk membuka sedikit celah. menyibakkan rasa duka dan membiarkan bahagia untuk singgah. menggantikanmu yang dengan tega meninggalkanku. ya Abi, kau tega, tega sekali.
Ibu masih sibuk membuka jendela dan menyibak tirai, membiarkan cahaya matahari pagi menerangi kamarku, udara dingin menerobos, menggigit kulit. aku masih pura2 tidur miring menghadap tembok. Sungguh... tak ada yang sanggup mengalahkan naluri seorang ibu. sepertinya beliau memiliki radar diatas kepalanya, sehingga bisa tau apa yang sedang di rasakan anaknya, entah itu sedih, senang, berbohong, atau apalah itu. intinya ibu tau kalau aku sedang berpura2 tidur untuk tak menunjukkan air mataku di hadapannya. Ibu duduk di pinggir tempat tidur. membelakangiku
"Ibuk kok ya masih ndak percaya ya kalau besok kamu mau menikah" Ibu diam sebentar, mengambil napas panjang
"Bahagia itu sederhana nduk, seperti layaknya orang yang berpuasa lalu berbuka, nikmatnya tak terkira kalau kita bisa berhasil melewatinya. berbeda kalau tidak puasa, kalau mau minum ya tinggal minum, kalau mau makan ya tinggal makan. jadi ndak terasa perjuangannya"
Aku masih terdiam, menatap tembok yang layaknya layar yang memutar kembali mimpi semalam. Ah... ibu, haruskah aku membatalkan saja pernikahanku? belum terlambatkan? belum kan ibu?
"Aku mimpi Abi buk semalem" suaraku parau, hampir tak terdengar
Ibu diam, mengambil napas berat, "Ikhlas itu emang berat nduk, tapi bukan berarti ndak bisa"
Aku masih terdiam, masih menyembunyikan tangisku, Mimpi Indah denganmu membuat pertahananku kembali goyah. Entah kenapa, tiba2 ide gila itu muncul begitu saja di otakku, Aku harus menemuimu, bagaimanapun akhirnya nanti, bahkan jika akhirnya aku harus membatalkan pernikahanku, maka akan aku lakukan, demi menemuimu. Demi menemuimu Abi. Meski kau telah membuatku terluka sebegitu dalamnya, aku tak peduli. aku hanya ingin menemuimu, setidaknya untuk membunuh rindu ini. dan mungkin juga untuk yang terakhir kali.
***
"Aku akan menikah besok"
" .... "
"Tidak papa kalau kau tidak bisa datang, aku maklum, aku hanya... hanya ingin memberi tahumu kalau aku besok menikah" Daun2 pohon asam yang menguning luruh tertiup angin, beberapa daun singgah di bahuku, juga di kepalaku, Langit senja memerah. Aku meruntuki waktu yang berlalu begitu cepat. Aku masih ingin bersamamu Bi. Aku masih rindu. Meskipun luka yang kau buat masih terasa perih, tapi aku tak bisa bohong jika aku rindu padamu.
"Aku akan bahagia, kau juga harus bahagia, berjanjilah Bi" Dan hingga kalimat terakhir ini kau masih saja bergeming, sedang aku sibuk untuk menahan tangisku yang hampir luruh
"Ai..." Aku menoleh, kak Widyan?
"Hai Bi, Saya widyan. kita belum pernah ketemu sebelumnya, salam kenal, saya calon suaminya Ai" Aku menatap kak Widyan nanar
"Maafin Ai kak, Ai..." kak Widyan, menggenggam tanganku hangat, menatapku penuh pengertian, seakan ia berkata lewat matanya "aku tak kan marah Ai, aku mengerti, aku tak kan marah"
Aku tergugu, kak Widyan merangkul pundakku. "Maaf Abi, saya harus membawa Ai pulang, besok adalah hari besar kami, Saya harap kamu mengerti"
Kak Widyan menggandeng tanganku menjauh, hati2 ia menuntunku melewati petak2 pusara di pemakaman. Dari jauh terdengar teriakan Tegar yang merengek minta keluar dari mobil. Tanpa kusadari aku mempercepat langkahku, melewati kak Widyan, menuju mobil.
"Amaaa.... " Tegar memanggilku dengan setengah menangis, ia meronta dari pelukan Eyang putrinya. Aku berlari ke arahnya. Ah... sinetron sekali rasanya, melihatnya lepas dari pelukan Eyangnya dan kami saling berlari menuju satu sama lain.tak peduli tersandung2 hingga hampir terjerembab di antara pusara2, hingga akhirnya berpelukan pada 1 titik temu, di tengah2 area pemakaman
"Tegar kenapa kemari?" aku mengusap kening bocah 5th itu. Yang di tanya malah menangis sesenggukan, dia kembali memelukku, makin erat, aku menatap Kak Widyan penuh rasa bersalah. Aku menggendong Tegar menuju mobil.
Sampai di mobil ia masih tak mau melepas pelukannya, hingga akhirnya kami meninggalkan pemakaman dan mobil kak Widyan sampai di depan rumahku. Tegar masih memelukku, dan jatuh tertidur tanpa kusadari.
"Dia seharian nangis minta ikut Widyan waktu tau kalau kami berdua ingin cari kamu Ai" Mama kak Widyan menjelaskan sesampai kami di rumahku, aku menidurkan Tegar di kamarku.
"Maafkan saya Ama (Tante), saya tidak bermaksud mengacaukan semua, seharusnya saya mematuhi adat untuk tetap di rumah, tapi saya malah... " Lagi2 kak Widyan menggenggam tanganku, menatapku penuh pengertian
"Sudahlah Ai, yang penting kamu sudah di rumah" Ah... taukah kau bi, Kak Widyan adalah lelaki paling hebat yang pernah aku kenal, setelah kau tentunya. Dia adalah Orang tua tunggal dari Tegar, lelaki kecilku, yang sejak bayi telah kehilangan ibunya akibat pendarahan hebat beberapa jam setelah dia dilahirkan kedunia.
Aku mengenalnya secara tidak sengaja, ketika itu aku menemukan Tegar yang baru berusia 2tahun, menangis sendirian di tengah2 Hypermart. Dia tersesat setelah terlepas dari gandengan ayahnya. Dan setelah hampir setengah jam aku membujuknya untuk ke ruang informasi. akhirnya Ia bisa bertemu ayahnya kembali.
Kami, Aku dan kak Widyan, memang memiliki perbedaan umur yang jauh Bi,7 tahun. tapi jangan khawatir. Itu tak pernah jadi masalah untuk kami. Kami bahagia Bi, percayalah, meski kadang aku masih sering memikirkanmu. Berandai-andai kau akan kembali dan melanjutkan pertunangan kita yang belum terwujud karena kau tak pernah bangun dari tidur panjangmu. Tau kah kau Bi, betapa marahnya aku ketika kau tiba2 saja pergi meninggalkanku tepat di hari pertunangan kita? Tentu kau tak tau, Tak kan pernah tau, karena kau benar2 telah menutup matamu untuk selamanya karena kecelakaan itu .Kau juga tidak taukan, hingga beberapa bulan kemudian setelah gagalnya pertunangan kita, aku masih suka teriak2 histeris di kamar dan membutuhkan bantuan Spikiater untuk waktu yang lama.
"Masih ada waktu Ai untuk membatalkan semuanya" kak Widyan membuyarkan lamunanku. Aku tercekat. Ama menatapku dan kak Widyan bergantian. Ibu dan ayah cuma terdiam, Ruang tamu lengang, hanya suara jam dinding yang terdengar
"Ama nggak mau jadi ibunya Tegar ya?" Sebuah suara kecil membuat 1 ruang menoleh ke asal suara
"Tegar..." kak Widyan mendekati anak lelakinya itu, menepuk punggungnya pelan, menyuruhnya duduk bergabung dengan kami, Ia mengambil duduk di antara aku dan kak Widyan.
Aku berusaha tersenyum, mengelus kepala Tegar lembut, mengusap pipinya yang gembul.
"Ama kok nggak jawab pertanyaan Tegar?" Aku menatap lelaki kecilku dengan tatapan nelangsa. Mata Tegar mulai berkaca2. Taukah kau bi, Hampir setaun yang lalu, tepat ulang Tahun Tegar yang ke 4, Ia melamarku, memintaku secara resmi di acara ulang tahunnya, di depan teman2 tknya, di depan guru2 TKnya, di depan sanak saudara yang datang di pesta itu, aku di mintanya untuk jadi Ibunya. Ya dia yang memintaku, bukan ayahnya.
Tak mudah bagiku untuk mengiyakan permintaan lelaki kecilku itu, meski aku sangat menyayanginya. Aku takut Bi, takut kehilangan, takut di tinggalkan seperti yang dulu kau lakukan padaku. Rasa sakit itu, belum hilang hingga bertaun2 lamanya. Tapi kak Widyan memahamiku Bi, seperti yang aku bilang padamu tadi, dia adalah laki2 terhebat. Ia tak jemu menungguku, tak lelah menjelaskan pada anaknya bahwa aku belum siap berkata iya. Hingga akhirnya Tegar jatuh sakit, ginjalnya bermasalah. dan ia harus di operasi secepatnya. itulah titik balik hidupku yang kedua Bi, setelah kau Tinggalkan.
Aku tak mau kehilangan lagi Bi, di saat2 kritis Tegar, maka aku pun berjanji pada diriku sendiri. jika Yang Maha Kuasa menyelamatkan lelaki kecilku, maka aku akan berkata "Iya" pada permintaannya. Dan sungguh, keajaiban itu muncul, bahkan di kala dokter sudah angkat tangan dengan keadaannya. Sudah menepuk-nepuk pundak kak Widyan untuk mempersiapkan hal paling buruk yang akan terjadi. Keajaiban itu ada Bi, Lelaki kecilku berhasil melewati masa kritisnya dan bisa sehat kembali hanya dalam hitungan minggu. Dan akupun harus menepati janjiku pada diriku sendiri.
"Ama..." Aku tersentak, Tegar tergugu, aku kembali mengusap pipinya yang sudah basah
"Mau sayang, tentu saja ama mau.." aku memeluk Tegar, kami berdua menangis, ibu dan Ama terlihat menahan2 air mata mereka. sedang ayah dan kak Widyan memilih berjalan keluar ruangan, menuju teras. dua lelaki itu memang selalu tidak tahan jika melihat wanita menangis. Dua lelaki hebatku.
*****
Malam kian larut, Aku masih termangu di depan jendela kamar, memandang langit. Aku lelah sekali hari ini. kak Widyan dan Ama sudah pulang beberapa jam yang lalu, sedang Tegar rewel minta ampun waktu di ajak pulang, ia tak mau melepaskan pelukannya, ia melekat seperti lem padaku. Akhirnya dengan berat hati ama mengijinkannya tidur di rumahku.
"Ama..." aku menoleh
"Ya sayang?"
"Katanya mau nutup jendela kamar, kok malah ngelamun liat bintang?" aku terkekeh, lupa dengan tujuan semula
"Maaf2..." Aku beringsut menutup jendela lalu mengambil tempat di samping Tegar. Hari ini dia ngotot ingin tidur denganku, ya mau bagaimana lagi.
"Ama... "
"Hmmm..."
"Ama cinta gak sama ayah?"
"Hmm... gimana yah..." aku pura2 menggoda, Tegar manyun melihatku sok jual mahal
"Kalau ama bilang lebih cinta sama Tegar gimana?"
"Ya gak boleh donk"
"Loh... kok gak boleh?"
"Iya, Kalau Ama cintanya sama Tegar, nanti Ama menikahnya sama Tegar dong bukan sama Ayah" jawab lelaki kecilku dengan polosnya. Aku tertawa tanpa bisa di cegah. lagi2 tegar manyun melihatku menertawakannya
"Ama.... Tegar serius ini" Tegar makin manyun
"Ama cinta sama semuanya, sama Eyang putri, sama Ayah, juga sama Tegar makanya Ama mau jadi ibunya Tegar"
"Oh... Tapi tadi kenapa Ayah tanya soal batal ... "
"Eh... Ama punya dongeng bagus, Tegar mau denger gak?" Aku mengigit bibir, Please Tegar. Ama tidak mau membicarakannya lagi
"Mauuuuuuu...." Tegar tiba2 berdiri, melonjak-lonjak di atas kasur. Aku tergelak melihat tingkahnya, Thanks God. Aku mengambil sebuah buku cerita bergambar dari lemari buku.
"Tidur donk, masa di dongengin sambil loncat2 gitu" Tegar nurut. Dia tidur disampingku, menyimak ceritaku dengan takjub. sesekali dia berseloroh "wohhhh..." ketika sampai di bagian imajinatif, dimana aku memperagakan badan dinosaurus yang sangat besar. entah pada bab berapa pada buku itu, tiba2 saja tanpa aku sadari bocah itu sudah tertidur dengan pulasnya.
"Bismikallahumma ahya wa bismika amut" kubisikkan doa menjelang tidur di telinganya, ku kecup keningnya lembut,kemudian membenarkan letak selimutnya. sejenak aku menatap langit2 kamarku. Abi, Abitya Nugraha.. yang telah jauh di sana, Terima kasih sudah mengisi hidupku sebelumnya. Ijinkanlah aku bahagia. karena seperti yang di katakan oleh kak Widyan "Aku tak kan menggantikan posisi Abi di dalam hatimu Ai, aku akan jadi puzle pelengkap, bukan puzle pengganti. begitupun kau dalam hidupku, Aku tak kan memaksamu mencintaiku secara utuh, sebagaimana aku juga belum bisa mencintaimu secara utuh, karena masing2 hati kita telah terbawa oleh orang2 yang kita sayangi sebelumnya, yang telah pergi lebih dulu dari kita, maka marilah Ai, kita sama2 berpegangan, saling menguatkan, aku tau rasanya kehilangan, maka aku takkan menuntut apapun darimu"
Mungkin benar apa yang di katakan Ibu tadi pagi, Ikhlas itu memang berat, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Semoga kau mengerti Bi, Aku hanya ingin bahagia, dan membahagiakan orang2 yang menyayangiku. Semoga kau juga bahagia di sana.
Cerpen lewat,
By Nouru El Arifah
Komentar
Posting Komentar